Lambang adalah kesepakatan simbol yang dipakai guna memudahkan pengenalan suatu institusi, organisasi,kelembagaan, daerah atapun negara. Wujudnya dapat merupakan gambar sesuatu, huruf-huruf atau warna.
Justru lambang yang bagus biasanya merangkum ciri dominan terkait dengan simbol karakter, potensi, kesejarahan, tradisi, budaya , dan bahkan anekdot.
Ingat, betapa kuatanya gambar ular naga yang dipilih sebagai simbol dari kebudayaan dan kepercayaan di negeri China. Padahal ular naga hanya merupakan gambar khayal. Dalam kenyataan, tak ada binatang seperti itu.
Penggantian atau perubahan sebuah lambang pun sah-sah saja sepanjang ada keinginan serta kesepakatan untuk menggantikannya. Apalagi jika lambang tersebut dinilai tidak lagi sesuai atau mencerminkan keadaan sesungguhnya.
Wali Kota Makassar tahun 1953 harus menggagas melakukan penggantian lambang kotanya yangterdiri atas komponen gambar batang kelapa dan sebuah pedang marsose yang dinilai tidak lagi sesuai dengan perkembangan masa.
Lambang yang baik, memang, selain merangkum simbol-simbol dominan juga apabila menggunakan komponen gambar, huruf atau pewarnaan mengandung muatan makna yang tidak bersifat temporer.
Munculnya keinginan pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk mengganti lambang daerah Provinsi Sultra yang telah digunakan selama hampir 40 tahun, sesungguhnya dapat dipahami dengan menyimak kriteria yang ditetapkan dalam pelaksanaan sayembara pembuatan logo lambang daerah Provinsi Sultra yang dibuka untuk umum (22 Februari – 8 Maret 2003) serangkaian dengan rencana penggantian lambang Provinsi Sultra terdahulu.
Salah satu kelemahan yang tampak jelas pada lambang daerah Provinsi Sultra terdahulu, penempatan backround 4 (empat) warna sebagai simbol 4 (empat) kabupaten dengan potensi utamanya di provinsi Sultra. Penempatan latar belakang seperti itu sangat rentan terhadap perubahan yang dapat membuat suatu lambang kehilangan makna.
Dengan terdapatnya kini 7 kabupaten/kota di Provinsi Sultra dan tidak tertutup kemungkinan jumlah itu kelak akan bertambah, maka melihat hal itu saja, lambang daerah Provinsi Sultra terdahulu sudah tidak cocok digunakan dengan kondisi kekinian.
Maraknya komentar pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat mengiringi rencana penggantian lambang daerah Provinsi Sultra merupakan hal positif. Pro-kontra yang berisi kritikan maupun mengandung saran itu, selain memperluas wawasan dan memperkaya referensi peserta maupun panitia untuk membuat atau menetapkan suatu lambang yang terbaik sesuai dari segi estetika, komposisi, dan pemaknaan, juga sebagai bukti besarnya kepedulian masyarakat terhadap dinamika penyelenggaraan pemerintahan di daerah (inklud rencana penggantian logo lambang daerah Provinsi Sultra).
Apalagi Peraturan Pemerintah (PP) No.20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Pasal 18), memberikan jaminan kepada masyarakat secara perorangan, kelompok atau organisasi untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara langsung atau tidak langsung baik lisan maupun tertulis.
Yang mengherankan lantaran di antara riuhnya pro-kontra rencana pergantian lambang daerah Provinsi Sultra tersebut, ada yang menstressing sebagai wewenang legislatif. Padahal, dalam hal kepentingan daerah yang menuntut kepekaan dan kepedulian tinggi seperti ini, pihak eksekutif maupun pihak legislatif yang juga memiliki hak inisiatif punya kesempatan sama untuk memulai.
Yang sedikit membingungkan lantaran ada yang menggiring perhatian ke wilayah lain, dengan menyebut rencana penggantian logo lambang daerah Provinsi Sultra terdahulu. Padahal ikhwal tersebut tak satu pun dicantumkan sebagai syarat atau kriteria sayembara pembuatan logo lambang daerah Provinsi Sultra.
Apa arti sebuah lambang, kata enteng banyak pihak. Tapi, jika anda menggunakan lambang bergambar ‘Palu Arit’ di tempat umum, sebelum harus berhubungan dengan pihak berwajib, anda dipastikan akan mendapat tantangan dari bahkan tamparan dari warga masyarakat Indonesia. Sebab, itulah lambang milik Partai Komunis yangtelah diharamkan di Bumi Pertiwi ini. (Mahaji Noesa, Harian Kendari Ekspres, Selasa, 11 Maret 2003, Interupsi, Hal.4)